https://banjarnegara.times.co.id/
Berita

Mengenal Lebih Dekat Erros Djarot Lewat Autobiografi Seribu Halaman

Minggu, 12 Oktober 2025 - 12:59
Autobiografi Erros Djarot, Sebuah Kesaksian tentang Hidup, Karya, dan Zaman “Autobiografi Erros Djarot”

TIMES BANJARNEGARA, JAKARTAAda orang memanah rembulan. Ada seekor anak burung terjatuh dari sarangnya. Orang-orang harus dibangunkan. Kesaksian harus diberikan. Agar kehidupan tetap terjaga.

Satu bait dari puisi Mas Willy, WS Rendra berjudul “Aku Mendengar Suara” ini sengaja saya kutip, untuk meyakinkan diri saya sendiri setidaknya, bahwa “Autobiografi Erros Djarot” adalah kesaksian yang memang harus ditulis, harus terbit dan harus dibaca. 

Dari Sebuah Kesaksian

Kesaksian tidak saja harus diberikan ketika Erros Djarot seperti membimbing tangan Megawati Soekarnoputri, menuntunnya  dari anak tangga bawah, terus naik hingga anak tangga paling atas sampai kemudian duduk sebagai  seorang pemimpin nasional di negeri ini.

Tapi kesaksian juga harus diberikan ketika dia berproses kreatif melahirkan film Tjoet Nja’ Dhien, atau menciptakan lagu ‘Selamat Jalan Kekasih,’ dan karya-karya lain yang banyak orang telah mengetahuinya.

Saya bersyukur diajak Mas Erros untuk terlibat dalam proses penerbitan autobiografinya ini. Sekecil apapun keterlibatan itu, bagi saya adalah kesempatan sekaligus pengalaman besar. Amat istimewa bagi saya memperoleh kemewahan itu, apalagi saya bisa menjadi orang  pertama yang membaca tulisannya.

Saya, mungkin juga banyak sahabatnya yang lain, merasa selama ini mempunyai hubungan cukup dekat dan akrab dengan Erros Djarot, sehingga merasa tahu banyak mengenai sosoknya, dapat bercerita banyak mengenai  sifat, sikap dan ledakan-ledakan kreativitasnya, termasuk kejailannya. Tapi setelah membaca tulisannya secara keseluruhan, dan berulang-ulang,  ternyata apa yang saya ketahui tentang sosoknya tidak sampai 10 halaman dari sekitar 1000 halaman tebal “Autobiografi Erros Djarot” ini. Tipis sekali.  

Dari Panggung Musik ke Layar Perak

Membaca tulisan Mas Erros saya seperti melihat sebuah film. Sejak awal sudah disuguhi adegan-adegan menarik dan autentik, dan tak berhenti menghadirkan kejutan-kejutan. Apalagi alur ceritanya sangat bagus sehingga dari adegan yang satu ke adegan berikutnya tersambung dengan halus. Dia menulis adegan termasuk dialog-dialognya dengan sangat filmis.

Sekadar catatan, film Tjoet Nja’ Dhien mendapatkan 8 Piala Citra pada FFI (Festival Film Indonesia) tahun 1988, tiga diantaranya untuk Erros Djarot masing-masing Katagori Cerita Asli, Skenario dan Penyutradaraan.  

Soal sutradara, suatu hari pada pekan kedua bulan Februari 1999, saya diminta Mas Erros untuk menyerahkan naskah pidato kepada Megawati Soekarnoputri. Naskah ini akan dibaca Mbak Mega pada Apel Besar Deklarasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) hari Minggu 14 Februari 1999, di Stadion Utama Senayan.

Di kantor partai yang saat itu masih berada di Jalan. Lenteng Agung No.99, Jakarta Selatan, saya masuk sendirian untuk menemui Mbak Mega yang memang sudah menunggu datangnya naskah pidato yang saya bawa.

Saat itu Mbak Mega sedang memimpin rapat dengan para elitnya, di ruang depan bangunan satu lantai yang juga dijadikan ruangan rapat. Melihat saya datang Mbak Mega segera menghentikan rapat, berdiri, lantas mengajak saya langsung masuk ke ruang kerjanya, melalui pintu yang menempel pada dinding ruangan rapat. Ketika itu belum ada PDI Perjuangan, partai ini baru akan dideklarasikan secara resmi beberapa hari lagi.

Ruang kerja Mbak Mega sempit, luasnya sekitar 6 x 8 meter. Ada sebuah meja dan kursi, di depannya berjarak dua meter ada sofa kecil dan dua buah kursi pendek dipasang berhadap-hadapan, serta sebuah meja kecil membuat ruangan makin terasa sempit. Di dinding ada lukisan profil Bung Karno. Saya duduk di sofa yang hanya muat untuk dua orang, Mbak Mega duduk di kursi sebelah kiri, menghadap ke arah pintu masuk.

Basa basi sebentar, kemudian saya serahkan map yang saya bawa. Tak lama kemudian seorang pembantu perempuan masuk dari pintu dalam, berjalan dengan setengah jongkok, membawa teh dan sesisir pisang di talam.

Mbak Mega membaca naskah, saya minum teh, memetik pisang, mengupas kemudian memakannya, sambil memperhatikan mimik wajahnya yang sangat serius ketika membaca naskah belasan halaman. Selesai membaca, saya diminta menghubungi Mas Erros. Saya telpon dia, setelah tersambung saya serahkan hape kepada Mbak Mega. Keduanya lantas saling berbicara. Mula-mula serius, kemudian santai, lalu ketawa ketiwi, serius lagi, ketawa ketiwi lagi, serius lagi.

Dalam pembicaraan menggunakan hape saya itu, Nokia model pisang, Mbak Mega antara lain bilang, ada kalimat Bahasa Arab di naskah pidato yang sebaiknya dihapus saja karena sulit diucapkan. Dia khawatir nanti malah keliru saat membacakannya di atas panggung; Baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.

Selesai menghabiskan pisang kedua saya pamit, lantas keluar melalui ruang rapat lagi, sehingga mau tak mau saya harus kembali melewati para elit parpol baru ini.  Mereka menoleh ke arah saya, semua. Secara sepintas saya kemudian menyapa mereka.  Mungkin saja ada di antara mereka yang bersungut dan menggerutu, huh...gara-gara orang ini saya harus menunggu sekian lama. Jumlah mereka sekitar 20 orang, duduk di kursi lipat nyaris berhimpitan dalam ruangan yang terasa pengap, tapi suasananya dipenuhi semangat.

Sebelum saya sampai di pintu keluar Laksamana Sukardi  nyeletuk, salam buat Mas Erros ya. Disusul Theo Syafii, salam saya buat sutradara. Karena diucapkan di dalam sebuah kantor parpol, maka kata ‘sutradara’ yang diucapkan oleh jenderal purnawirawan  yang sudah almarhum itu tentu juga dalam konteks politik. Sesampainya di kantor tabloid DeTAK yang berada di dalam kompleks Stadion Lebak Bulus, salam dari dua tokoh itu saya sampaikan kepada Mas Erros. Dia hanya ketawa, sang sutradara.

Menulis Kembali Jejak Seorang Erros Djarot

Erros Djarot sebagai tokoh sentral dalam buku ini, sejak kecil sudah bertualang. Bukan hanya petualangan secara fisik, tetapi juga petualangan secara spriritual, gagasan, karya, ide, strategi, kreativitas, tidak terkecuali politik. Sejak kecil, dari membaca tulisannya, dia memang nampak  mempunyai bakat menjadi sutradara, menyutradarai apa saja.

Saya juga membayangkan, seperti yang ditulisnya, Erros Djarot tak pernah berhenti bergerak. Kadang dia berhenti sejenak untuk melakukan sesuatu di tempat itu, kemudian melanjutkan lagi perjalannya. Kadang jalannya mendatar, kemudian naik, menurun, kadang lurus dan berkelok. Bahkan tidak jarang zig-zag, dengan stamina yang mengagumkan, hingga sekarang. Mudah-mudahan Mas Erros selalu sehat.

Dalam perjalanan, dia bertemu dengan banyak sekali orang, banyak diantaranya yang namanya sudah kita kenal. Dia juga seringkali menemui banyak masalah atau kesulitan, tapi selalu saja dia bisa menyelesaikannya karena memang dia banyak akal, plus nakal.

Saat duduk di SMP di Tanjung Pandan, Belitung, berdua bersama kakaknya, Slamet Rahardjo,  dia dihukum oleh bapaknya yang saat itu menjadi Komandan Pangkalan AURI Tanjung Pandan. Kedua kakak beradik ini disuruh merenggangkan kaki mereka, lantas bapaknya melepaskan tembakan ke arah tanah, persis di bawah selangkangan kedua anaknya, dor..dor...dor..dor. Kedua anak itu dihukum karena kedapatan main judi bersama seorang prajurit anak buahnya. Judi kecil-kecilan pakai kartu cemek.

Ketika SMA di Jakarta, Erros Djarot pernah mencatut kesakralan nama Keluarga Cendana, hanya agar kelompok bandnya dari SMA Budi Utomo (Budut) Jakarta bisa tampil di TVRI. Tapi buntutnya almarhumah Ibu Tien Soeharto marah-marah setelah mengetahui ada sebuah kendang kecil yang dianggap keramat, ketika dibutuhkan kok tidak ada di tempat. Ternyata kendang itu ikut dibawa Erros ke studio TVRI, padahal hanya digunakan sebagai hiasan panggung saat dilakukan rekaman.

Menginjak dewasa, dia bekerja sebagai buruh di pabrik metal yang ada di Kota Munchen, Jerman Barat. Di pabrik metal ini dia akrab dengan seorang buruh asal Turki yang memanggilnya dengan nama Sukarno. Beberapa tahun kemudian, bersama seorang temannya warga Jerman, dia pergi ke Amerika Serikat selama sebulan, menjadi hippies sambil mengamen di New York. Erros memetik gitar dan temannya meniup harmonika. Tujuan petualangannya ke Amerika itu tidak lain hanya sekadar uji nyali.

Di Jerman Barat pula, Erros Djarot bersama kawan-kawannya kemudian membentuk kelompok band Barong’s Band yang sempat rekaman untuk satu album. Setelah itu ia pulang ke Jakarta menggarap album ‘Badai Pasti Berlalu’ bersama Debby Nasution, Chrisye dan Yockie, ketiganya sudah almarhum. Kemudian balik lagi ke Eropa, kali ini ke London, untuk kuliah di London International Film School atas bea siswa dari British Council. Bagaimana dia bisa memperoleh bea siswa, Erros Djarot punya caranya. Setelah itu dia menikah dengan Dewi Trijati Surianegara di Tunisia.

Mengarsipkan Ingatan, Merawat Zaman.

Buku ini bukan sekadar autobiografi, melainkan sebuah kisah nyata, yang ditulis dengan memenuhi semua kaidah-kaidah sastra. Ada tokohnya, ada alur cerita, ada dialog, ada plot, imaginasi, gagasan, perenungan, konflik, bahkan ada konfirmasi dan kroscek data, sehingga menurut saya buku ini lebih tepat kalau masuk katagori karya sastra nonfiksi.

Demikianlah “Autubiografi Erros Djarot” ini dipersembahkan, salah satunya sebagai kesaksian. Bersamaan dengan buku ini, kami juga  menerbitkan sebuah buku lain setebal 646 halaman berjudul “Erros Djarot; Apa Kata Sahabat”, berisi 72 tulisan karya 72 orang sahabat mengenai dirinya. Kedua buku ini diterbitkan berkenaan dengan usianya yang pada tahun 2025 ini genap 75 tahun.

Rasa bangga karena terlibat dalam penerbitan buku ini, tentu bukan monopoli saya sendiri. Kukuh Bhimo Nugroho yang mendampingi saya sebagai editor, dan Muid Mularnoidin yang mengerjakan tata letak dan cover, serta Tri Rahardjo yang memotret sosok Erros Djarot untuk cover buku, juga tak menyembunyikan kebanggaan mereka.

Termasuk Juga Ahmad Kanedi dan Siswanto yang bertugas mengumpulkan data, M. Dharma Setiawan yang menjaga IT, tidak lupa juga Jumari dan Thoyib yang siap mengantarkan siapa saja, ke mana saja dan kapan saja. Serta Akie Munawar dan Was’an yang rasa-rasanya tak pernah berhenti sibuk di dapur. Juga Suyadi yang bergantian menghidangkan di atas meja buah-buahan segar hasil kebun sendiri; pisang, pepaya, kelapa muda, alpokat, manggis, sawo, mangga, bahkan durian.  Secara personal maupun secara institusional, wajib hukumnya bagi saya untuk menyampaikan terima kasih atas kerja sama semuanya.

Sebuah Proses yang Menguji Kesabaran

Sekadar tambahan informasi, untuk menyelesaikan dua buku yaitu “Autobigrafi Erros Djarot” dan “Erros Djarot; Apa Kata Sahabat” ini, kami mengerjakannya di sebuah vila di kawasan Ciawi, Bogor, sejak Januari 2025. Awalnya hanya 3 orang, temasuk Mas Erros, kemudian bertambah dan bertambah sesuai kebutuhan. Ketika memasuki bulan Juni 2025, frekwensi pekerjaan makin ditingkatkan.

Alhamdulillah, kesaksian-kesaksian Erros Djarot ini akhirnya terbit, tentu dengan pertanggungjawaban penuh terutama masalah moral. Untuk dia sendiri bersama keluarga, untuk kami selaku tim kerja, untuk para sahabat, untuk Anda pembaca, untuk perkembangan sastra dan untuk seluruh Bangsa Indonesia, Insya Allah buku “Autobigrafi Erros Djarot” ini ada manfaatnya. (*)

oleh: M. Anis, Editor Buku “Autobiografi Erros Djarot”

Pewarta : XX
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Banjarnegara just now

Welcome to TIMES Banjarnegara

TIMES Banjarnegara is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.